Pekan
pertama Februari 2007 lalu, Armada Maritim Barat TNI-AL telah menangkap
sejumlah kapal pengekspor pasir yang tengah berlayar di perairan
Kepulauan Riau menuju Singapura. Dalam pemeriksaan awal diketemukan
bahwa kapal-kapal pengangkut pasir tersebut beroperasi secara ilegal.
Penangkapan ini mau tidak mau menaikkan suhu politik hubungan kedua
negara yang memang sering naik turun bagai tegangan kabel Perusahaan
Listrik Negara (PLN).
Ada kenyataan yang amat memprihatinkan di balik peristiwa-peristiwa
penangkapan kapal-kapal pengangkut pasir Singapura. Kasus ini bukan
kasus baru, sudah terjadi sejak zaman awal Orde Barunya Suharto, dan
dibiarkan oleh presiden-presiden selanjutnya hingga Susilo Bambang
Yudhoyono berkuasa.
Selama ini Singapura memang telah dikenal sebagai tetangga yang tidak
ramah, mau menang sendiri, dan licik. Tabiat-tabiat ini sesungguhnya
tidak aneh jika melihat kedekatan antara Singapura dengan Zionis-Israel
yang begitu erat sejak negara ini dilahirkan. Perdana Menteri Singapura
pertama, David Saul Marshall, sendiri berdarah Yahudi.
Program Lee Kuan Yew
Lee Kuan Yew merupakan Bapak Singapura. Setelah memodernisasi
sistem ketentaraan Singapura dengan mengadopsi sistem ketentaraan
Zionis-Israel, bahkan para instrukturnya diterbangkan langsung dari Tel
Aviv, Perdana Menteri Singapura ini membangun apartemen-apartemen di
seantero negara kota itu. Lee menyadari bahwa dengan luas yang hanya
sekitar 500 kilometer persegi, Singapura tidak akan mampu menampung
semua warga negaranya dengan baik.
Untuk itulah Lee bersama para pembantunya mencari akal agar luas
wilayah Singapura bisa bertambah dengan cepat. Akhirnya pada tahun 1976,
Lee mengumumkan sebuah proyek besar penambahan luas wilayah Singapura
lewat jalan reklamasi pantai-pantainya. Lee mencanangkan, gerakan
reklamasi pantai-pantai negaranya akan terus dilakukan hingga tahun
2030, yang berarti dilakukan selama lebih kurang 54 tahun, dan
memerlukan pasir sebanyak 8 miliar kubik. Reklamasi pantai dipusatkan di
pantai barat dan timur.
Wilayah-wilayah yang akan direklamasi antara lain di West Bank East
Bank, Jurong Phase III-B, Ubin Island, Jurong Phase IV-A Tekong Island,
Jurong Phase IV-B Changi Phase 1-A, Tuas Extention Phase 4 Changi Phase
1-B, Jurong Phase I Changi Phase 1-C, Jurong Phase II Punggol, Southern
Island Other Package, dan Sentosa Island.
Lalu dari mana sumber pasirnya? Dengan gampangnya Lee Kuan Yew
memanfaatkan tabiat koruptif yang dimiliki banyak pejabat Indonesia,
baik pejabat lokal maupun pusat, baik yang sipil maupun berseragam,
dengan menyodorkan segepok uang lantas menggaruk pasir Riau dan
mengangkutnya untuk menimbuni pantai-pantai Singapura.
Proyek reklamasi pantai Singapura ini telah berhasil menyelesaikan
penambahan wilayah pantai seluas 100 kilometer persegi (Kompas, 16 Mei
2002). Dalam rencana Singapura, setidaknya negara ini harus mereklamai
wilayah pantainya seluas 260 kilometer persegi, sehingga tinggal 160
kilometer persegi lagi pantai yang akan direklamasi. Untuk itu semua
dibutuhkan timbunan pasir sebesar 1, 8 miliar meter kubik.
Menurut Harun Al-Rasyid Martohandoyo dalam disertasi doktoralnya di
IPB (2002), dari sejumlah hasil pengamatan di lapangan, khususnya dari
Ketua dan Sekjen Asosiasi Pengusaha Penambangan dan Pemasaran Pasir Laut
Indonesia (AP4LI) Eddy S Poluan dan Erma Hidayat, mereka menyatakan
bahwa para pengusaha yang tergabung dalam d’Consortium, sebagai penyewa
Kapal Keruk Pasir Laut asing telah melakukan pencurian pasir laut
kemudian diekspor ke Singapura.
Eddy mengatakan para pengusaha yang tergabung dalam d’Consortium
itu dibekingi “orang kuat” dari TNI dan dari instansi lainnya, seperti
Bea dan Cukai. Wakil Ketua Fraksi Reformasi DPR yang juga Anggota Komisi
V DPR-RI Ir. Afni Achmad mengatakan bahwa reklamasi di Singapura dengan
cara mengimpor pasir laut dari Kepulauan Riau telah menimbulkan banyak
kerugian, bukan saja aspek teritorial tapi juga ekonomi perdagangan dan
lingkungan hidup.
Sebenarnya tidak semua ekspor pasir laut ke Singapura ilegal, ada
juga yang legal. Tapi kenyataan di lapangan, jumlah pasir laut yang
dikirim ke Singapura secara ilegal jauh lebih banyak ketimbang yang
resmi.
Di luar pasir, penyelundupan aneka komoditas Indonesia ke Singapura
sebenarnya sudah lama terjadi, sejak pra perang kemerdekaan.
Penyelundupan Kayu, Karet, Kopra, BBM, hasil laut termasuk perikanan,
TKW/TKI, Pasir Laut dan lain sebagainya jelas telah merugikan negara
triliyunan rupiah tiap tahunnya, dan ini sudah berlangsung puluhan
tahun.
Selain reklamasi, sebagian pasir itu juga dipergunakan Singapura
untuk membangun negaranya, seperti konstruksi apartemen dan
infrastruktur lainnya.
Selama lebih kurang 20 tahun, Singapura sebagai konsumen pasir laut
Indonesia telah menggunakannya sebagai bahan dasar konstruksi bangunan
gedung-gedung pencakar langit, reklamasi pantai, dan perluasan kawasan
Bandara Internasional Changi serta kawasan Industri sekitarnya.
Hasilnya, tahun 1991 luas wilayah Singapura tercatat hanya 633
kilometer persegi, namun pada tahun 2001 wilayah Singapura bertambah
luas menjadi 760 kilometer persegi atau bertambah luas 20 persen dalam
waktu sepuluh tahun!
Permintaan yang besar dari Singapura terhadap pasir laut Kepulauan
Riau menyebabkan banyak didirikan usaha penambangan pasir, yang resmi,
setengah resmi, maupun yang liar. Usaha ini menjamur di banyak bagian
pantai Riau.
Pada tahun 2001 tercatat sedikitnya 140 perusahaan yang bergerak di
bidang penambangan pasir laut. Dari 140 perusahaan penambangan, hanya
dua yang disertai kelengkapan AMDAL. Perusahaan-perusahaan tersebut
sebagian besar memegang izin dari Propinsi dan Kabupaten di Pemda Riau
sejalan dengan penerapan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
(Otda).
Dalam masalah perizinan, sebelum berlakunya UU No. 22/1999, ekspor
pasir laut di Kepri ditangani oleh Departemen Pertambangan sejak
tahun1970-an dan pernah selama 2 – 3 tahun diserahkan pengelolaannya
kepada Otorita Batam. Setelah itu diambil kembali oleh Departemen
Pertambangan Pusat.
Sejalan dengan berlakunya UU Otda, penanganan penambangan dan ekspor
Pasir Laut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Di kemudian hari
terbukti, perpindahan pengelolaan dari pusat ke daerah ternyata tidak
memiliki pengaruh signifikan bagi daerah itu sendiri. Ketika di bawah
pusat, banyak pejabat pusat yang bermain, maka ketika daerah yang
mengelola, keuntungannya pun hanya dinikmati pejabat daerah itu saja
bersama dengan aparat keamanan setempat. Rakyat kecil sama sekali tidak
mendapat apa pun.
Kelicikan Singapura, yang menjadi tempat pelarian bagi Konglomerat
Hitam Indonesia, semakin terlihat ketika Singapura secara sepihak
menunda melanjutkan pembahasan Perjanjian Ekstradisi dengan Indonesia
dalam waktu yang tidak diketahui. “Sampai batas-batas teritorial
Singapura menjadi jelas, ” ujar pemerintah Singapura. Kalimat ini sama
saja artinya dengan “Sampai proses reklamasi pantai Singapura selesai."
Ya, sampai wilayah kedaulatan NKRI berkurang karena wilayah Singapura
bertambah luas. Agaknya sudah waktunya bagi kita untuk bersikap lebih
tegas kepada ‘Basis Israel di Asia Tenggara’ ini.
Dan Hasilnya:
Perbatasan Indonesia-Singapura terdapat tumpukan pasir!!!